Tuesday, March 20, 2007

PRAJURIT PENGAWAL TAHTA

Pemerintahan MN.V. tidak berlangsung lama. Pada suatu waktu di tahun 1896, beliau mengalami kecelakaan saat berburu di hutah Kethu, wilayah yang terletak didaerah Wonogiri. Akibatnya beliau menderita sakit dan akhirnya wafat pada tanggal 2 Oktober 1896 dalam usia 41 tahun. Waktu beliau wafat, para putranya masih kecil-kecil dan beliau tidak meninggalkan surat wasiat yang bersangkutan dengan suksesi, sebagaimana yang pernah di buat oleh MN.IV.

Pada saat wafatnya MN.V, penyandang pangkat dan jabatan tertinggi di dalam hirarki pemerintahan Mangkunegaran adalah Letnan Kolonel Wakil Komandan KPH. Gondosuputro. Dalam tradisi pemerintahan Mangkunegaran, pangkat Letnan Kolonel hanya diperuntukkan bagi pangeran Prangwedono, sebutan untuk putra Mahkota. Dalam waktu itu belum ada yang diangkat menjadi Let.Kol. Prangwedono.

Ucapan berduka cita atas wafatnya MN.V mengalir dari segala penjuru tanah Jawa. Seluruh ucapan ditujukan kepada KPH. Gondosuputro, karena beliaulah penanggung jawab Puro Mangkunegaran dalam masa kekosongan kekuasaan tersebut. Ucapan duka cita tersebut antara lain dari Pangeran Hangabehi, putera mahkota Kesultanan Yogyakarta.

Selesai pemakaman MN.V, KPH. Gondosuputro kembali memainkan perannya sebagai pengawal tahta Mangkunegaran. Prinsip bahwa pewaris tahta harus dari garis keturunan MN.IV dengan G.RAy. Dunuk, sebagaimana wasiat ayahandanya, beliau pegang erat-erat. Dengan prinsip itu, maka keputusan akhir tentang siapa yang naik tahta menjadi MN.VI terpulang pada G.RAy. Dunuk (Ibu Suri). Untuk keperluan tersebut, beliau menghadap pada G.RAy. Dunuk yang merupakan ibu tiri sekaligus kakak ipar beliau, untuk mohon petunjuk.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Ibu Suri G.RAy. Dunuk membuat keputusan yang bijaksana, yaitu memilih puteranya yang nomor dua, yaitu KPH. Dayaningrat untuk di angkat sebagai MN.VI, menggantikan kakaknya. Keputusan tersebut di sambut gembira dan rasa syukur oleh KPH. Gondosuputro. Sekali lagi beliau memainkan peran untuk menjaga kemulusan suatu suksesi. Pesan ayahandanya bahwa ia harus mengawal adiknya kejenjang tahta, terngiang kembali. Beliau mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Akhirnya pelantikan pemegang tahta Mangkunegaran yang baru dilakukan pada tanggal 21 November 1896. Beliau pada waktu di lantik sudah berusia 40 tahun, oleh karena itu langsung dilantik sebagai KGPAA. Mangkunegoro VI, Kolonel Komandan, tanpa mengalami sebutan Pangeran Prangwedono Letnan Kolonel.

Selama masa transisi, Praja Mangkunegaran dalam keadaan aman dan tenteram. Let.Kol. Wakil Komandan KPH. Gondosuputro berhasil menjaga kemulusan suksesi tahta Mangkunegaran. Beliau tetap menjabat sebagai Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran. Sementara itu, sejak tahun 1895, beliau menyusun re-organisasi dalam lingkungan Legiun Mangkunegaran, dengan bantuan perwira tentara Belanda. Perubahan-perubahan yang mendasar disesuaikan dengan keadaan anggaran negara dan kemajuan teknologi militer. Re-organisasi ini selesai pada tahun 1898, jabatan Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran di hapus, sedangkan usia beliau sudah 63 tahun, suatu usia yang tergolong lanjut. MN.VI memberhentikan beliau dengan hormat sebagai pensiunan Letnan Kolonel Wakil Komandan. Suatu jabatan yang dalam sejarah Legiun Mangkunegaran tidak pernah dipegang oleh perwira lain selain beliau. Setelah menikmati masa pensiun yang tenang, beliau wafat pada Sabtu Wage, tanggal 12 Jumadilakir, tahun Wawu 1833 atau 1904 Masehi dan dimakamkan di Girilayu, Kabupaten Karang Anyar, Surakarta, di bawah makam ayahandanya. Beliau meninggalkan 8 putera-puteri dengan urutan sebagai berikut: RM. Sudika (Hatmosugondo), R.Ay. Poncosuyono, R.Ay. Surasmi Prawiraningrat, R.Ay. Suratmi Joyowiratmo, R.Ay. Semit (wafat pada usia muda), RM. Suyadi (RM. Ng. Wirosuputro), RM. Sapardi (wafat pada usia muda) dan R.Ay. Sukarti Padmoprodjo.

Di antara putra-putranya di atas, yang mengikuti karier sebagai perwira Legiun Mangkunegaran hanya RM. Ng. Wirosuputra, yang menurut catatan menyandang pangkat Kapten pada tahun 1904 di masa pemerintahan MN.VI.

KARIER KPH.GONDOSUPUTRA DALAM PEMERINTAHAN PRAJA MANGKUNEGARAN

KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu beliau masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, beliau mengikuti MN.IV ke Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh BAron VAn De Belle.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, MN.IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III) atau adik ipar beliau dan KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, MN.IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu MN.IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. MN.IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan MN.IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh MN.IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.

Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian beliau diangkat dalam jabatan "yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran". Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah MN.IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semasa beliau memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah MN.IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, beliau memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan. Akhirnya dengan dipimpin oleh Kapten KPH. Gondosisworo (Adik kandung Mayor KPH. Gondosuputro), pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura.

Sejak KPH. Gondosuputro mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, beliau melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas ARtileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.

Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, sehingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputro bukan merupakan daerah yang asing. Beliau sejak lama mendapat tugas dari ayahandanya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum beliau wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputro.

Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran. Tahun 1881 ayahanda beliau wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, adik kandung beliau KPH. Gondosubroto menyusul ayahandanya tercinta. Keduanya dimakamkan di Girilayu.

LEGIUN MANGKUNEGARAN

Cikal bakal dari Legiun Mangkunegaran ialah para anggota pasukan yang memberontak pada VOC, yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo. Ketangguhan tempur pasukan ini mulai terkenal sejak mereka dibawah Pangeran Suryokusumo (nama lain dari Pangeran Sambernyowo), melakukan penyerangan pos-pos militer Belanda di daerah Salatiga, waktu pemberontakan orang Cina pada tahun 1744. Setelah Pangeran Sambernyowo atau RM. Said menjadi kepala Praja Mangkunegaran pada tahun 1757, pasukan tersebut merupakan bagian resmi dari Praja Mangkunegaran.

Pasukan pemberontak yang tadinya belum mempunyai aturan-aturan militer yang baku, mulai dibenahi dengan cara penerapan tradisi dan hirarki kemiliteran yang profesional. Re-organisasi total Prajurit Mangkunegaran dilakukan pada tahun 1808 pada masa pemerintahan MN.II. Dalam re-organisasi tersebut, untuk pertama kali diangkat Komandan Legiun, yaitu MN.II dengan pangkat Kolonel. Tradisi ini berlanjut sampai dengan MN.VII, yang merupakan Kolonel Komandan terakhir dari Legiun Mangkunegaran.

Nama pasukan yang tadinya "Prajurit Mangkunegaran", diubah menjadi "Legiun Mangkunegaran". Hal ini mencerminkan sikap yang modern dari penguasa Praja Mangkunegaran waktu itu, yang ingin mempunyai tentara seperti yang dimiliki Perancis di jaman Napoleon.

Jumlah personil Mangkunegaran tergantung kebutuhan pada pemerintahan saat itu. Namun menurut catatan yang ada dalam sejarah Legiun, jumlah yang minimumnya sekitar 750 personil dan maksimum 1500 personil. Rekruitmen prajuritnya di ambil dari rakyat di wilayah Mangkunegaran, sedangkan para perwiranya diangkat dari para putera dan kerabat Mangkunegaran. Untuk menjadi kadet atau calon perwira dipersyaratkan umur 16 tahun dan menguasai bahasa Belanda dan Melayu. Agar mutu Legiun Mangkunegaran setara dengan tentara Belanda, maka beberapa tentara Belanda ditugasi untuk mendidik dan melatih para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran terkenal sebagai tentara yang bermutu tinggi, sehingga jenjang kepangkatannya oleh pemerintah Belanda diakui sama dengan kepangkatan dalam tentara Belanda. Apabila dalam keadaan perang, Legiun Mangkunegaran akan berfungsi sebagai tentara cadangan Belanda. Hal ini terjadi waktu Perang Dunia II, dimana tentara Belanda diserang tentara Jepang pada masa pemerintahan MN.VII dan Legiun Mangkunegaran ikut bertempur bersama tentara Belanda. Dalam perang tersebut, Belanda menyerah dan Legiun Mangkunegaran dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Dengan demikian MN.VII tercatat sebagai Kolonel Komandan yang terakhir.

Tugas pokok dari Legiun Mangkunegaran adalah menjaga keutuhan dan keamanan Praja Mangkunegaran. Karena tugas tersebut, maka kadang-kadang Legiun Mangkunegaran melakasanakan tugas-tugas polisionil diluar Praja Mangkunegaran. Sebagai contoh, pada setiap ada suksesi tahta di Keraton Surakarta, maka selama suksesi tersebut berlangsung, penjagaan keamanan kota Surakarta seluruhnya diserahkan kepada Legiun Mangkunegaran.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA KPH. GONDOSUPUTRA

RM. Sukardi pertama kali menempuh kehidupan berumah tangga dengan seorang ampil yang dikenal dengan nama Mas Aj. Silardiwati. Setelah beliau bergelar KPH.Gondosuputro, beliau melangsungkan pernikahan di Puro Mangkunegaran dengan putri nomor 12 dari Mangkunegoro III yang bernama RA. Suminah yang merupakan garwa padmi (permaisuri). Pernikahan ini menciptakan hubungan yang unik dengan ayahandanya. Seperti diketahui, KGPAA. Mangkunegoro IV, ayah kandung beliau telah memperistri puteri sulung dari almarhum MN.III. Dengan demikian istri atau garwa RM. Sukardi, kakak beradik dengan ibu tirinya. Sekitar berusia lima puluh tahun, beliau mengambil satu ampil lagi dengan nama Mas Aj. Citrowati.

Mangkunegoro IV berhasil membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Beliau banyak membangun sentra-sentra ekonomi, seperti pabrik gula, stasiun kereta api dan bangunan-bangunan lainnya. Beliau juga membangun kembali pesanggrahan di Karang Pandan, yang dinamakan Pesanggrahan Giripuro. Tempat ini oleh MN.IV selain dijadikan tempat peristirahatan, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi putra-putra beliau. MN. IV banyak melibatkan RM. Sukardi dalam kegiatan yang dilakukan di Karang Pandan ini. Kesejahteraan para puteranya juga diperhatikan, antara lain dengan membangun beberapa rumah yang diperuntukkan putra-putranya. KPH. Gondosuputro termasuk putranya yang diberi hak menempati sebuah rumah yang terletak di sebelah timur Puro Mangkunegaran.

MASA REMAJA KPH. GONDOSUPUTRA

Sepeninggal istrinya, KPH. Gondokusumo tidak langsung mengangkat seseorang sebagai garwa padmi, melainkan hanya mengangkat selir sebanyak 3 orang. Mereka inilah yang mengurus rumah tangga dan putra-putri beliau. Dalam hal ini RM. Sukardi bersaudara.

Sebagai putra seorang pangeran yang menjadi perwira pada Legiun Mangkunegaran, seudah sewajarnya kalau RM. Sukardi ingin mengikuti jejak sang ayah untuk mengabdi di bidang kemiliteran. Pada usia sekitar 16 tahun, ia diterima sebagai kadet calon perwira di Legiun Mangkunegaran. Tidak lama beliau berdinas, terjadi peristiwa yang membawa perubahan besar kehidupan keluarganya. Mangkunegoro III wafat pada tahun 1853 dan KPH. Gondokusumo diangkat sebagai Mangknegoro IV dan menikah lagi dengan puteri sulung dari MN.III yang bernama R.Ay. Dunuk. RM. Sukardi yang semula anak seorang Pangeran Gondokusumo, sekarang menjadi putra MN. IV. Hal tersebut membuat ia semakin menekuni kariernya demi menjaga dan membangun wilayah Mangkunegaran yang sekarang diperintah oleh ayahandanya.

MASA KECIL KPH.GONDOSUPUTRA

Beliau dilahirkan pada hari Kamis Pahing, tanggal 3 Rejeb, Tahun Ehe, 1764 (Jawa) atau tahun 1835 Masehi dan diberi nama RM. Sukardi. Ibu yang melahirkan beliau bernama R.Ay. Semi, puteri sulung dari KPH. Suryomataram, garwa padmi dari KPH. Soediro Gondokusumo (Kelak menjadi KGPAA. Mangkunegoro IV). Pada waktu itu yang bertahta di keraton Surakarta adalah Pakubuwono VIII dan yang memerintah di Mangkunegaran adalah KGPAA. Mangkunegoro III, yang merupakan saudara sepupu KPH. Soediro Gondokusumo. RM. Sukardi merupakan putera ke-empat dari pasangan KPH.Gondokusumo dan RAy. Semi. Sebelumnya, pasangan ini telah dikarunia tiga putera, yaitu: RM. Sutomo, R.Ay. Senen (Tondokusumo) dan RM. Sungkowo (meninggal waktu berumur setahun).

Pasangan suami-istri KPH.Gondokusumo dan R.Ay.Semi mempunyai ikatan darah sebagai saudara sepupu, kaena keduanya mempunyai kakek yang sama, yaitu KPH. Hadiwijoyo I di Surakarta. Perkawinan antar keluarga pada masa dahulu merupakan hal yang sering dilakukan di masyarakat Surakartapada umumnya, serta keluarga Mangkunegaran pada khususnya. Yang menjadi dasar pertimbangan perkawinan tersebut terutama bersangkutan dengan masalah warisan, baik yang menyangkut harta, tahta, maupun jabatan lainnya. Namun pada prinsipnya adat Jawa dalam masalah perkawinan ini idealnya perkawinan ini menganut prinsip "Misan dadi besan, mindo dadi jodo", berarti sagtu canggah, sedangkan hubungan antar misan (second cousin, satu buyut) disarankan untuk berbesanan. Pekawinan antar keluarga dekat kadang-kadang memberi pengaruh negatif pada keturunannya, apabila ada benih penyakit keturunan dalam keluarga tersebut.

Pada waktu RM.Sukardi dilahirkan, ayahandanya masih berusia 26 tahun dan bertugas sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, sedangkan ibundanya berusia 20 tahun. Bagi orang Jawa, pemberian nama pada seorang anak biasanya mencerminkan harapan orang tua terhadap anaknya dan untuk menandai suatu peristiwa penting yang terjadi pada waktu anak tersebut lahir. Tidak terkecuali pada keluarga Gondokusuma. Anak ketiga dinamakan Sungkowo, karena pada waktu kelahirannya bertepatan dengan meninggalnya KGPAA. Mangkunegoro II, sedangkan pada waktu RM. Sukardi lahir, ayahandanya baru saja menerima medali atas karyanya sebagai perwira di Legiun Mangkunegaran, sehingga anaknya dinamakan Sukardi, yang berarti karya yang luhur. Selain menerima medali, KPH. Gondokusumo juga menerima hadiah dari MN.III berupa rumah yang dulu didiami pada waktu beliau masih menjadi Prangwedono III. Rumah itu merupakan tempat kelahiran RM. Sukardi.

Setelah RM. Sukardi, R.Ay. Semi melahirkan 10 putra/putri lagi, yaitu : RM. Sukirno, RM. Sukendro, R.Ay. Parang, RM. Suman, R.Ay. Meneng, RM. Sayid, RM. Suroyo, R.Ay. Sepengah, RM. Satriyo, RM. Sutardi. Pada waktu melahirkan putranya yang ke 15, R.Ay. Semi wafat dan dimakamkan di Mangadeg pada tahun 1777 (Jawa) (1848 M). Jadi, di saat RM. Sukardi masih berusia 13 tahun, ia sudah ditinggalkan ibundanya.

TRANSKRIP SURAT KPH. GONDOSUPUTRO


Serat saha ingkang taklim, saking Kanjeng Pangeran Harya Gandasuputra, dhumateng Kyai Raden Tumenggung Jaya Sarosa, Papatih Dalem ing Mangkunegaran.

Sasampuning kadya punika wiyosipun, kula acanthol atur ing Sampeyan, kunjukipun ing Sampeyan Dalem Kanjeng Gusti kula sumangga.
Ing ngajeng kula tampi dhawah Dalem, katantun ngalih dhumateng MANGKUNINGRATAN, kula inggih sandika.

Ingkang punika : manawi kapareng saking karsa Dalem, griya sapapanipun, kula suwun lastantuning kados nalika kadaleman Raden Mas Harta Mangkuningrat.

Anjawi, punika, saking atur panuwun kula, mugi wontenasih kawelasan Dalem, paring sangu, kenginga kula angge wragad tambal sulam ingkang sami risak-risak. Ingkang saupami boten wonten pitulung Dalem, kados badhe andadosaken kasusahan kula. Jalaran anggen kula kerep ngolah-ngalih.

Wondening serat-serat cacah kawontenanipun griya kula ing Ganda Saputran, ugi kula caosaken sareng kalayan serat punika.

Tanggal kaping. 13 Wulan September, Tahun 1867

Ttd.
GONDOSUPUTRO
Transkripsi arsip No. MN.IV. 7.

Monday, March 19, 2007

PERINGATAN 250 TAHUN PURO MANGKUNEGARAN

PERJANJIAN SALATIGA
17 Maret 1745

Karena merasakan tindakan kompeni yang sewenang-wenang terhadap rakyat Kerajaan Mataram di Kartasura, maka pada tahun 1741 RM. Said meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh untuk menyusun pemberontakan melawan Belanda.

RM. Said yang berganti nama menjadi RM. Suryakusuma mulai membangun perlawanan di Desa Nglaroh dengan bermodalkan pasukan permulaan yang berjumlah 40.orang. Pada awal perjuangannya, RM. Suryakusuma bergabung dengan RM. Garendi atau yang terkenal dengan Sunan Kuning bersama Laskar Cina di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang. Pada tahun 1743, RM. Garendi tertawan oleh Belanda di Surabaya dan di buang ke Afrika Selatan. Pasukan dapat di tumpas oleh Belanda sedangkan Kapitan Sepanjang hilang dalam pengejaran.

Tahap berikutnya, RM. Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mangkubumi I. RM. Said yang juga terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyawa akhirnya memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memimpin pasukannya sendiri melanjutkan perjuangannya melawan Kompeni Belanda.

Pangeran Mangkubumi pada th 1755 melakukan perundingan dengan pihak Belanda di Giyanti. Perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan yang antara lain memberi hak pada sang Pangeran untuk memerintah sebagian dari wilayah Kartasura ,dan oleh beliau kerajaan yang baru ini di namakan Ngayogjakarta Hadiningrat yang populer di sebut sebagai Yogyakarta, sedang rajanya bergelar Sultan Hamengkubuwono I.

Di saat RM. Said atau Pangeran Samber Nyawa mulai melakukan perlawanannya, Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura diperintah oleh Pakubuwono II. Namun, sejak Keraton Kartasura dapat di rebut oleh RM. Garendi beserta laskar Cina pada tahun 1742, ibukota kerajaan pindah ke Surakarta. RM. Garendi beserta laskar Cinanya dapat di usir oleh Belanda setelah menduduki Keraton Kartasura selama 9 bulan. Pangeran Samber Nyawa tetap melanjutkan perjuangannya mulai dari daerah Kabupaten Sukoharjo, ke daerah Klaten,Wonogiri, Madiun, Karanganyar dan Sragen. Pakubuwono II wafat dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwono III dan berkedudukan di Surakarta. Raja baru ini mempunyai kebijaksanaan yang agak berbeda dengan pendahulunya. Beliau ingin mengakhiri pemberontakan Pangeran Samber Nyawa dengan melalui perundingan. Pemikiran demikian timbul antara lain karena saran dari Kompeni yang sudah kewalahan menghadapi Pangeran Samber Nyawa.

Sinuhun Pakubuwono III di paroh akhir tahun 1756 menulis surat kepada Pangeran Samber Nyawa agar kembali ke Surakarta untuk membantu beliau menjalankan pemerintahan, adapun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wilayah pemerintahan dan kedudukan Pangeran Sambernyawa dapat dirundingkan kelak. Akhirnya pada hari Kamis Pahing tanggal 4 Jumadilakir, tahun 1682 (M.1756), Pakubuwono III menjemput Pangeran Sambernyawa di Desa Tunggon untuk di ajak kembali ke Surakarta.

Pada awal tahun 1757, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia menulis surat kepada Pakubuwono III di Surakarta, Sultan Hamengkubuwono I diYogyakarta ,dan RM. Said atau Pangeran Sambernyawa. Surat tersebut berisi undangan agar ketiganya bertemu di Salatiga untuk mengadakan perundingan.

Pada tanggal 17 Maret 1757 di dusun Kalicacing, Salatiga, perundingan tersebut dapat terlaksana. Menurut buku Babad KGPAA.Mangkunegara I,susunan formasi para peserta perundingan adalah sebagai berikut : Nicholas Harting sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Belanda, yang dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator duduk di tengah, di apit oleh Pakubuwono III, disebelah kanan dan Hamengkubuwono I dikirinya. Di hadapan mereka duduk Pangeran Sambernyawa. Perundingan ini disaksikan oleh kepala perwakilan VOC dan kedua patih, baik dari Surakarta maupun Yogyakarta, yaitu Mangkupraja dan Suryanegara.

Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :

  1. Pangeran Sambernyawa di angkat sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I
  2. Beliau berhak menguasai tanah seluas 4000 karya, serta semua daerah yang pernah dilewati selama mengadakan pemberontakan dan menjalankan roda pemerintahannya.
  3. Beliau berhak mendirikan sebuah istana atau Puro sebagai pusat pemerintahannya di Surakarta, tetapi dengan syarat :
    • Dilarang membuat singgasana
    • Dilarang membuat alun-alun dengan beringin kurung
    • Dilarang membuat “Siti Inggil” dan balaiurung
    • Dilarang menjatuhkan hukuman mati

Istana dan Praja Mangkunegaran selanjutnya di kenal dengan nama “Pura Mangkunegaran”. Kesepakatan tersebut di atas di kenal dengan nama “Perjanjian Salatiga” DENGAN DEMIKIAN PADA TG 17 MARET 2007, USIA PURA MANGKUNEGARAN MENCAPAI GENAP 250 TAHUN.

Pemerintah Indonesia sangat menghargai jasa Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I sebagai pejuang kemerdekaan nasional. Hal itu terbukti dengan pengangkatan beliau sebagai pahlawan kemerdekaan nasional seperti yang

tertuang dalam keputusan Presiden RI. No. 048/TK tahun 1988, tanggal 17 Agustus 1988.

Setelah Mangkunegara I wafat, beliau digantikan oleh Mangkunegara II dan seterusnya, hingga saat ini yang menjabat sebagai pimpinan Pura Mangkunegaran adalah Sri Paduka Mangkunegara IX.

Sejak pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IX, Pura Mangkunegaran telah memberikan sumbangan yang besar bagi bangsa dan kebesaran nama Indonesia.

Karya-karya tari dan sastra, serta berbagai ragam seni budaya bermutu tinggi banyak yang lahir dari lingkungan Mangkunegaran. Peranan Pura Mangkunegaran di bidang pendidikan menghasilkan tokoh-tokoh nasional, serta putera bangsa yang berbobot.

Dalam perjuangan kemerdekaan nasional, banyak kerabat Mangkunegaran yang langsung terlibat dalam perjuangan fisik maupun non fisik.

Sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka semua, serta untuk memupuk rasa persatuan dan kebangsaan yang akhir-akhir ini dirasakan agak pudar, maka seluruh jajaran Pura Mangkunegaran mengajak masyarakat luas untuk bersama-sama berpartisipasi merayakan “250 tahun Pura Mangkunegaran”. Dalam rangka mereaktualisasi Budaya Mangkunegaran, maka panitya mempunyai rencana untuk mengadakan Pagelaran-pagelaran , seminar-seminar, pameran-pameran, dan kegiatan lainnya.

Dengan memohon Ridho Allah SWT., Tuhan Yang Maha Pengasih, Peringatan “250 tahun Pura Mangkunegaran”, akan dimulai dengan acara selamatan di Kalicacing, Salatiga pada tanggal 17 Maret 2007, dan disusul dengan kegiatan2 lainnya yg akan berlangsung sepanjang tahun 2007

"Pahlawan Nasional RM Said berjuang melawan penjajah bersama para Ulama, Pendekar, laskar Tionghoa dan prajurit wanita"

PANGERAN SAMBERNYAWA

Masalah tersebut, maka RM. Said atau Pangeran Sambernyawa, karena menyaksikan penderitaan rakyat Mataram akibat penindasan Kompeni, beliau memilih keluar dari Istana Kartasura dan membangun perlawanan terhadap VOC. Kompeni merasa kewalahan dan mengajak berdamai, tetapi selalu ditolak oleh Pangeran Sambernyawa. Namun setelah Paku Buwono III meminta beliau pulang ke Surakarta dengan maksud agar beliau membantu Sinuhun PB.III didalam mengendalikan Kerajaan Mataram, Pangeran Sambernyawa menerima ajakan tersebut dan selanjutnya bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegara, Menurut Babad Panambangan, pada saat PB.III menjemput RM.Said dari medan perang, beliau berkata bahwa segala sesuatu yang menyangkut kedudukan KGPAA. Mangkunegara akan dibicarakan di kemudian hari. Sebagai realisasi penyelesaian, maka diadakanlah perundingan di Desa Kalicacing Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757.

Pada dasarnya perundingan yang diadakan adalah perundingan antara RM.Said dengan PB.III. Namun, karena sejak Perjanjian Giyanti Tahun 1755 wilayah Kerajaan Mataram sudah terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, maka dalam perundingan tersebut, diikuti juga perwakilan dari Keraton Yogyakarta dan Perwakilan dari VOC yang bertindak sebagai saksi. Perundingan ini menghasilkan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama PERJANJIAN SALATIGA. Sejak itu maka secara defacto dan dejure terbentuklah PRAJA MANGKUNEGARAN

BARISAN ULAMA

“Subhanullah Subhanullah Subhanullah Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”. Kalimat ini senantiasa dikumandangkankan oleh Pangeran Sambernyawa dimanapun beliau berada. RM.Said mengangkat senjata bukan karena ingin menjadi raja, tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan kebenaran. Bagi beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan beliau. Kyai Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka. Raden Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di saat bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.

BARISAN PRAJURIT WANITA

Ada ungkapan “witing klapa Jawata ing ngarsa pada, salugune wong wanita dasar nyata”. Wanita adalah bagaikan dewi yang turun ke bumi. Keberadaannya di dunia ini harus dihormati. Mereka diibaratkan sebagai pohon kelapa yang kokoh, tetapi luwes. Prinsip-prinsip inilah yang dipegang oleh Mangkunegara I dalam memperlakukan para wanita. Di saat dunia masih mempermasalahkan kesetaraan gender, beliau telah membentuk pasukan wanita yang bertempur dengan gagah berani disamping para pasukan pria. Pasukan ini dinamakannya “Ladrang Mangungkung”, yang berarti Pasukan yang mengepung musuh hingga tak berdaya dan itu telah terbukti di berbagai pertempuran melawan VOC.

PASUKAN PRIA

Rakyat Kerajaan Mataram adalah rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Hal ini terbukti sejak Sultan Agung Hanyakra Kusuma memimpin rakyatnya melawan penjajah. Semangat untuk melawan penindasan tersebut diwariskan kepada keturunan beliau yang bernama RM.Said. Para prajurit RM.Said bukanlah prajurit bayaran. Sebagian besar dari mereka adalah para petani, tukang penebang kayu, pemburu dan rakyat kecil lainnya. Mereka tergerak hatinya ketika mendengar pekik perjuangan yang dikumandangkan oleh RM.Said. Berjuang dan berjuang demi keadilan. Darah mereka tertumpah, dalam pertarungan demi pertarungan.

“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe rantas malang malang putung,
ojo nganggu gawe, marang kamardikan”.

"Semua tujuan harus ditebus melalui pengorbanan dan segala yang penghalang untuk tercapainya kemerdekaan, akan tersapu".

PRAJURIT TIONGHOA

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, perjuangan melawan penindasan tidak mengenal sekat ethnis, suku dan agama. Pangeran Sambernyawa sangat memahami hal tersebut. Beliau berhasil mengajak seluruh masyarakat untuk “Hanebu Sa’uyun” Bersatu kokoh bagaikan seikat tebu melawan segala bentuk kejahatan. Sejarah mencatat bahwa seluruh rakyat Mataram termasuk ribuan etnis Tionghoa dibawah kepemimpinan Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sinshe, bersatu padu, bahu membahu, bersama RM.Said dalam berjuang mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara. Darah para pejuang laskar Tionghoa ini tumpah menggenangi bumi pertiwi, menyatu dengan darah saudara-saudaranya dari suku Jawa. Darah yang telah tergenang berbaur tanpa dapat dibedakan lagi, apakah itu darah Tionghoa atau darah Jawa.

W A R O K

Pada saat RM.Said tiba didaerah Keduwang, Wonogiri, beliau bertemu dengan para pejuang yang gagah berani. Mereka menamakan dirinya sebagai warok. Mereka menyatakan keinginannya untuk mengikuti RM.Said berjuang melawan Kompeni. Kesaktian para pendekar ini telah terbukti dalam berbagai pertempuran.

“Suro Diro Jayaningrat lebur dening pangastuti”.
Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.

KEMERDEKAAN

Tanggal 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Mulai saat itu bangsa Indonesia memasuki babak kehidupan yang baru dan Praja Mangkunegaran meleburkan diri pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Cita-cita agung dari para pejuang bangsa yang telah mendahului kita, termasuk Pahlawan Nasional RM.Said dan mereka yang telah berjuang bersamanya, perlu kita ujudkan secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semboyan :

· Rumongso Melu Handarbeni

· Wajib Melu Hanggrumengkepi

· Mulat Sariro

· Angrosowani

Marilah kita jaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai diakhir jaman. Semoga darah para martir yang telah membasahi tanah air, di saat mereka melaksanakan kewajibannya yang berupa “Melu Hanggrumengkepi” selalu mengingatkan kita akan pentingnya menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa.


SALATIGA
(1740-1743
)

Peristiwa yang terjadi di Salatiga pada tahun tersebut sangat erat hubungannya dengan apa yang terjadi di Keraton Kartasura. Pada masa itu yang bertahta di Kartasura adalah Paku Buwono II. Beliau mempunyai beberapa saudara, antara lain bernama Pangeran Arya Mangkunegoro, yang kemudian di buang ke Afrika Selatan oleh Kompeni dan wafat disana. Sebelum di buang, beliau berputra seorang laki-laki yang di beri nama RM.Said (Pangeran Sambernyawa). Pada masa itu kekejaman Kompeni mencapai puncaknya. Para petani di peras dan di Batavia lebih kurang 10.000 orang Tionghoa di bantai karena tidak mampu dibebani pajak yang tinggi. Sebagian dari mereka yang hidup, melakukan perlawanan terhadap Kompeni dan lari ke Jawa Tengah. Keadaan yang demikian menimbulkan keresahan rakyat dan para pemimpin dilingkungan Kerajaan Mataram. Para Bupati membakar semangat rakyatnya untuk berontak melawan Kompeni. Pemberontakan terhadap Kompeni tersebut dipelopori antara lain oleh Bupati Mengunoneng dari Pati, Bupati Martapura dari Grobogan dan Bupati dari Lasem yang bernama Martawijaya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, RM.Said meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh, mengumpulkan pasukan permulaan yang berjumlah 40 orang dan melakukan serangan pada pos-pos Kompeni. Tindakan RM.Said diikuti oleh RM.Garendi, cucu Amangkurat III, raja yang di kudeta oleh Pakubuwono I. Ayah RM.Garendi yang bernama Pangeran Teposono terbunuh dalam suatu persekongkolan dan RM.Garendi lari kearah Grobogan dan Demak, membangun perlawanan terhadap Kompeni. Dengan demikian ada dua Pangeran yang keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap kompeni pada saat itu yaitu, RM.Said dan RM.Garendi.

Laskar Cina pelarian dari Batavia di bawah pimpinan Kapiten Sepanjang bergabung dengan Laskar Cina lokal Jawa Tengah, di bawah pimpinan Sin She alias Tan Sin Ho.

Gabungan Laskar Cina ini bersatu dengan Laskar para bupati pemberontak di dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Sunan Pakubuwono II pada mulanya mendukung perjuangan mereka. Benteng Salatiga diduduki oleh Pasukan Kartasura, dibawah pimpinan Patih Pringgalaya. Namun tidak beberapa lama pasukan dimaksud di tarik ke Kartasura untuk membendung bala tentara Kompeni yang mengancam Keraton Kartasura. Sebagai gantinya Salatiga di pertahankan oleh satu detasemen Laskar Cina yang didatangkan dari Semarang.

Kompeni merasa tidak senang atas berpihaknya PB.II kepada pemberontak dan mengeluarkan berbagai ancaman. Disebabkan Pringgalaya takut atas ancaman Kompeni yang demikian itu dan untuk membuktikan bahwa dia tidak bersekongkol dengan Laskar Cina, maka pada tahun 1741 ia memenggal kepala seorang juru tulis Tionghoa, yang bernama Gow Ham Ko di Salatiga. Kepala Gow Ham Ko oleh Patih Pringgoloyo diserahkan kepada Kompeni. Hal ini membuat marah Patih Notokusumo, seseorang yang lebih senior dari Pringgalaya. Secara diam-diam dia memerintahkan semua pengikutnya untuk bergabung dengan pasukan Tionghoa dan pemberontak lainnya untuk menyerang kompeni di Semarang. Sayang, serangan

terhadap kompeni yang di Semarang mengalami kegagalan. Pasukan pemberontak mundur dan Patih Notokusumo di tangkap Belanda.

Sebagian besar pasukan yang mundur bertahan didaerah Salatiga dengan pertahanan Kali Tuntang. Berbagai kekuatan pemberontak, seperti pasukan Pringgalaya berada di Kalicacing, Pasukan Kyai Mas Yudonegoro, seorang ulama dari Semarang berada di bagian timur dan pasukan Cina di sekitar Kali Tuntang.

Kekalahan pasukan pemberontak di Semarang membuat PB.II ragu dan akhirnya memutuskan berbalik berpihak pada kompeni. Ia memerintahkan pasukannya di bawah Pringgalaya menggempur para pemberontak. Menanggapi situasi demikian itu, para bupati pemberontak dan pimpinan laskar Tionghoa berkumpul untuk mengangkat RM.Garendi sebagai raja Mataram pada tanggal 6 April 1742. Mereka berikrar akan melawan kompeni sampai ajal tiba. Sasaran mereka merebut benteng kompeni di Kartasura. Pertempuran pertama yang harus mereka hadapi ialah di Salatiga, dimana mereka harus berhadapan dengan Pringgalaya di Kalicacing yang sekarang berpihak pada VOC.

Setelah Salatiga jahtuh ketangan RM.Garendi, dengan mudah mereka merebut benteng kompeni di Kartasura dibawah Van Hohendorf. RM.Garendi di Kartasura bertemu dengan RM.Said yang selanjutnya keduanya bergabung melawan kompeni pada pertengahan 1742. Sementara itu Salatiga telah dikuasai oleh pasukan pemberontak yang terdiri dari laskar Cina, pasukan dibawah Kyai Mas Yudonegoro dan pasukan para bupati yang setia pada Patih Notokusumo.

Belanda merencanakan mengirim pasukan gerak cepat yang terdiri dari 300 prajurit Eropa dan 500 prajurit pribumi ke Salatiga, tapi mengalami kegagalan karena pasukan yang akan menjemput mereka sebelum memasuki Salatiga telah dipukul mundur ke Ampel.

Pada tanggal 19 Juni 1742 serangan besar-besaran akan dilancarkan ke kota Salatiga. Namun sebelum sampai tujuan, mereka ketakutan dan kembali ke Semarang, karena Kompeni melihat konsentrasi kekuatan pasukan Kyai Mas Yudonegoro. Pasukan gabungan dari RM.Garendi atau Sunan Kuning terus melakukan perlawanan pada kompeni di seluruh wilayah Jawa Tengah. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Tanjung, Jepara. RM.Said bersama laskar Cina yang berkekuatan 800 orang bertempur melawan pasukan kompeni dibawah Kapten Mom di Welahan pada tanggal 24 Agustus 1742, namun pasukan ini karena kekuatan persenjataan yang tak seimbang terpaksa mundur. Sebagian diantaranya membuat pertahanan di Salatiga dan memasang barikade di Kali Tuntang. Pasukan kompeni dibawah Hohendorf gagal menembus barikade ini. Ditempat ini komandan dan laskar Cina, yaitu Kapitan Sepanjang telah mengeksekusi anak buahnya yang bernama Swa Ting Giap karena mau menyeberang ke pihak Kompeni.

Sunan Kuning atau RM.Garendi beserta Laskar Cina, Kyai Mas Yudonegoro, Bupati Mangunnoneng, serta Bupati Martapura, melakukan serangan ke Salatiga dan memaksa Patih Pringgalaya yang sudah berbalik membantu Kompeni, mundur ke Tengaran, kemudian Ampel.

Pasukan RM.Garendi terus mengejar pasukan Kartasura dibawah Pringgalaya dan akhirnya menyerbu benteng Kompeni di Kartasura. Di tempat ini, RM.Garendi beserta Laskar Cina bersatu dengan RM.Said melakukan perlawanan terhadap Kompeni.

Pertempuran yang terjadi di Salatiga, mulai sejak pasukan Pringgalaya menyerbu benteng Kompeni sampai dengan insiden pembunuhan juru tulis Tionghoa dan juga pertempuran antara RM.Garendi beserta Laskar Cina menyerang pasukan Pringgalaya yang telah berbalik sebagai sekutu Kompeni, diceriterakan secara detail dalam Buku Babad Keraton dalam bentuk tembang. Buku dengan huruf Jawa yang aslinya disimpan di British Library London, telah disalin dalam huruf Latin oleh Drs. I.W. Pantja Sunyata, Drs. Ignatius Supriyanto dan Prof. Dr. J.J. Ras.

Sumber:
Babad Keraton - I.W.Pantja Sunjata;Drs. Ignatius Supriyanto;
Prof. Dr. J.J. Ras
Perang Cina – Remelink

Babad Panambangan

MOCOPAT

DURMA

Sutayuda amatur marang kapitan, maraken tabénèki, rahadèn apatya, lawan katri punggawa, binantokken ingajurit, mring Salatiga, nanging maksih anganti.

Sutoyudo mengatakan pada Kapitan, bahwa Raden Patih menyampaikan salamnya beserta para prajurit yang diperbantukan di Salatiga, tetapi masih menunggu

Mantri Kalang Gawong ingkang dèrèng prapta, kapitan tri maksih, alon dènya ngucap, mengko yèn uwis prapta, apanggiha lawan mami, sun arsa miyat, marang sagunging baris.

Mantri Kalang Gawong yang belum datang. Kapitan menyatakan terima kasihnya dengan lembut berkata, nanti kalau sudah datang, hendaknya bertemu dengan saya karena saya mau melihat seluruh barisan yang ada.

Walandané waringin batur sinipat, ing sanjata tan keni, agundam lumajar, marang loji semana, Kapitan kagyat miyarsi, sarta angucap, ka bedhil punapi.

Belanda lari secepatnya ke arah loji, diberondong tembakan, tetapi tidak mengena. Kapitan sangat terkejut dan berkata “Ini suara bedil apa?”

Sigra Sutayuda lawan Gunawangsa, karoanarik keris, anggoco Kapitan, sigra dènya melompat, Kapitan anyandhak kursi, atangkis sarya, akèn anutup kori

Sutayuda dan Gunawangsa segera menarik keris, menghantam Kapitan yang segera melompat dan mengambil kursi untuk menangkis serta menutup pintu.

Samya kuwur wong jawa untel-untelan, wau punggawa katri, anarik curiga, nanging tan polih papan, tinunjung-tunjang wadya lit, wong tutumbasan, pudhak samya ngamuki

Orang Jawa bercampur-aduk dan ketiga perwira tadi menarik keris, tetapi terdesak oleh para prajurit bawahan yang saling bertubrukan karena mengamuk lupa daratan.

Wong Kumpeni ngumpul mring lotèng sadaya, éca dènya bedhili, pan wus kathah pejah, wong Jawa leng-ulengan, Jayasudirga wus kanin, Mangunagara, prasamya dèn popori

Serdadu Kompeni semua berkumpul di atas loteng, sambil menembak orang Jawa banyak yang gugur, Jayasudirga sudah terkena peluru, Mangunagara mukanya dipukuli dengan popor.

Gusis wadya kang anèng ing siti bentar, sigra wadya Kumpeni, mundur ngumpul samya, loji lor sedyanira, wus medal sarowangnèki, galong lampahnya, ing alun-alun prapti

Sepi sudah medan peperangan, karena semua serdadu Kompeni berniat melarikan diri, berkumpul disebelah Utara loji, mereka keluar dengan langkah yang gontai.

Ya ta wau ki tumenggung Wirajaya, kang lagya angayumi ing wadya kaparak, nèng kidul pamacanan, miyat ing wadya kumpeni, angalèr medal, sigra kinèn nututi.

Bersamaan dengan itu, tampak Tumenggung Wirajaya yang sedang memimpin prajurit kaparak di sebelah selatan Pamacanan. Beliau melihat serdadu Kompeni yang lari ke Utara dan segera dikejar.

Tinututan binedhilan saking wuntat, kacandhak kang kakalih, kang kantun lumalya, praptèng loji lor samya, wus angumpul bangsanèki, kang kawarnaa, radèn rekyana patih.

Mereka ditembaki dari belakang dan dua orang prajurit tertangkap, sedang sisanya melarikan diri sampai di loji sebelah Utara, untuk berkumpul dengan sesama bangsanya.

- Babad Keraton Pupuh CLIII –

PANGKUR

Sampun dènya undhang-undhang, wau sira sang adipati Pathi, myang radèn Martapurèku, miwah Singsèh Sepanjang, asandhiya tuwin ngabèhi Pibulung, pun Etik lawan pun Macan, wus samekta ingajurit.

Telah berkumpul sang Adipati Pati dan Raden Martapura serta Sinshe dan Sepanjang berjejer dengan Ngabehi Pibulung, Etik demikian pula Macan. Semuanya telah siap untuk bertempur.

Samya angelar jajahan, melukaken mring wong désa kanan kéring, kang bangga rinayah, sampun, gègèré apuyengan, Singajaya Singapatra samya gupuh, atur uninga naréndra, yèn musuh nèng Lèpèncacing.

Mereka melebarkan wilayahnya dengan cara menaklukkan desa di kiri-kanan. Mereka yang melawan akan dimusnahkan, sehingga mmbuat keributan. Mendengar hal tersebut Singajaya dan Singapatra dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada sang raja, bahwa musuh telah sampai di Kali Cacing.

Tumuta lampah kawula, sri naréndra ngandika iya becik, tinimbalan praptèng ngayun, sang nata angandika, Dipayuda milua amapag musuh, tur sembah matur sandika, ki Wirajaya nambungi.

Mengikuti saran, sang raja berkata,”Ya, kalau begitu panggillah Dipoyuda menghadap saya”. Kepada Dipayuda raja memerintahkan untuk mencegat musuh dan di jawab bahwa dia siap.

Saking wuri alon mojar, ing Tengaran jurang puniku adhi, mung puniku dika rebut, yya kongsi kasabrangan, pan puniku dadia bètènging batur, Rajaniti nulyèng wuntat, nanging datan anauri.

Wirajaya dari belakang berseru.”Di jurang Tengaran ini, tolong anda rebut, jangan sampai musuh dapat menyeberang, jadikanlah sebagai benteng yang kokoh”. Rajaniti lalu menoleh kebelakang, tetapi tidak berkata apa-apa.

Kèndel sadalu lampahnya, énjingipun majeng sawadya katri, amakuwon Kaligandhu, sampun ayun-ayunan, anèng Tingkir pan mengsah pacucukipun, wau ta sri naranata, yèn nglampahken ta duta glis.

Setelah beristirahat semalam, esoknya semua laskar melanjutkan perjalanannya dan berkemah di Kali Gandu. Di desa Tingkir berhadap-hadapan dengan barisan depan musuh. Sang rajapun segera mengirimkan utusannya.

- Babad Keraton Pupuh CLXVII -

DHANDANGGULA

Ingkang awasta radèn mas Said, lan Sambiya lan radèn mas Sabar, sampun ageng katiganè, pangandikaning prabu, samya kinèn basahan sami, nunggala pagandhèkan, tri anom ranipun, sarta kaparingan nama, kang atuwa rahadèn ingkang wawangi, radèn Suryakusuma.

Yang bernama Raden Mas Said dan Sambiya dan Raden Mas Sabar telah dewasa semuanya. Sang raja memerintahkan pada mereka untuk bertugas pada satu kesatuan yang bernama Trianom, serta yang tertua diberi nama Raden Suryakusuma.

Raden Sambiya ingkang wawangi, raden Martakusuma wastanya, raden Sabar wawangine, Wiryakusuma iku, sabin sami dipunparingi, nyalawé cacahira, sèket ingkang sepuh, gentya ingkang kawuwusa, pan kumendur Natanail ing Semawis, utusan tur uninga.

Raden Sambiya dinamakan Raden Martakusuma, Raden Sabar bernama Wiryakusuma dan dianugerahi sawah tiap orang 25, sedang yang sulung di beri 50. Sementara itu komandan Natanail di Semarang memberi kabar pada Gubernur Jenderal di Batavia.

Marang gurnandur jéndral Betawi, lamun sang nata tutulung Cina, kang duta lumaksana gé, datan kawarnèng laut, praptanira nagri Betawi, tumanduk punang duta, katur suratipun, sampuning amaos serat, samya ngungun ratpenidiya miyarsi, miwah gurnadur jéndral

Berita itu mengatakan, bahwa menurut pengamatan, Sang raja Kartasura membantu Cina. Utusan dari Semarang telah tiba di Betawi dan menyampaikan berita tersebut pada Gubernur Jenderal. Ia sangat terkejut dan marah waktu mendengar kabar tersebut.

Kapiten Singsèh dènira baris, wus angrupak anèng ing Trebaya, Martapura titindhihé, Sapanjang Sabukalu, Mangkuyuda ingkang nindhihi, banjeng pakuwomira, akapang akepung, wus maju saking Pragota, radèn arya Mlayakusuma lan malih, radèn Wiryadiningrat.

Kapitan Sinshe telah menyusun barisan menyerang Trebaya dibawah pimpinan Martapura, diikuti pasukan Sepanjang, Mangkuyuda yang telah melakukan pengepungan, sementara Mlayakusuma dan Wiryadiningrat maju melewati Pergota.

Acampuh ing prang bedhil-binedhil, Martapura anindhihi Cina, lan ngabèhi Trabayané, kumpeni para kaburu, kang kacandhak akèh ngemasi, praptèng jro loji samya, tinulungan sampun, ing mriyem lir gelap sasra, wadya Cina mundur amakuwon malih, lan radèn Martapura.

Terjadi baku tembak antara dua kekuatan, Martapura memimpin pasukan Cina dan Pasukan Ngabehi Terbaya. Kompeni di buru, sehingga banyak yang tewas. Pada waktu sampai loji, Kompeni menembakkan meriam hingga udara menjadi gelap gulita, pasukan Cina mundur sampai keperkemahan mereka, beserta Raden Martapura.

- Babad Keraton Pupuh CLVI -

DANDHANGGULA

Anglurugi Cina ing Bahrawi, ambantoni arya Pringgalaya, kang tugur Salatigané, nenggih sangadinipun, sajatiné amukul loji, prajurit kapatihan, kang arsa dèn adu, prasamya wong pipilihan, duk semana rahadèn rekyana patih, ngundhangi wadyaniro.

Laskar Cina dari Ambarawa datang membantu Arya Pringgalaya berjaga di Salatiga, sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang loji (Kompeni), pasukan yang disiagakan adalah pasukan pilihan. Sementara itu, sang Patih juga memanggil balatentara yang lain.

Para lurah samya munggèng ngarsi, samya ambekta sakancanira, munggèng palataran andhèr, apan wong pitung atus, prajurit jro ingkang ti-ati, samya Dinulangmangap, kang dadar lumintu, kadya panjrahing puspita, kang prajurit busanané warni-warni, abra penuh ingarsa.

Para lurah memimpin warganya untuk datang memenuhi lapangan hingga berjumlah 700 orang. Mereka dengan patuh mengikuti segala perintah. Pakaian mereka berwarna-warni seperti bunga-bunga bermekaran yang menantang penuh keberanian.

Angakena urun anindhihi, wus panuju rahadèn apatya, myarsa sarembug-rembugé, ya ta warnanen dalu, sira radèn rekyana patih, andahawuhken timbalan, mring katri tumenggung, bésuk dina Kemis énjang, siyagaa binantokaken ing jurit, mring ing Salatigèkufdasas, ngangéa keprajuritan, saha bala dimon samya ngati-ati, déning abdi panduka.

Karena mereka berjanji akan membantu dan setelah mendengar berbagai saran, maka bulatlah tekad Raden Patih, lalu beliau memanggil tiga Adipati dan memutuskan untuk melakukan serangan ke Salatiga pada hari Kamis pagi.

- Babad Keraton Pupuh CLII -