Thursday, November 22, 2007

KGPAA.MANGKUNEGORO IV


KGPAA. MANGKUNEGORO IV


Makam KGPAA. MANGKUNEGORO IV

di Girilayu, Kabupaten Karang Anyar, Surakarta,

Material besi tempa, marmer dan mahkota yang di impor dari Eropa oleh beliau pribadi.



Monday, November 19, 2007

HANEBU SA'UYUN (Tebu Serumpun)

Seikat tebu yang terdiri dari 3 batang tebu diserahkan KGPAA.MANGKUNEGORO IX kepada KRMH.Daradjadi Gondodiprojo pada malam penutupan acara peringatan 250 Puro Mangkunegaran
di Solo pada tanggal 11 November 2007.

Penuh khidmat KRMH. Daradjadi Gondodiprojo menerima ikatan tebu mewakili para kerabat Puro Mangkunegaran, dari Trah MN I sampai dengan Trah MN VIII dan Punggowo Baku.

Pangeran Samber Nyawa, pendiri dari Puro Mangkunegaran berpandangan bahwa tebu yang terikat teguh mempunyai kekuatan sinergi yang berlipa daripada tebu yang bercerai berai.
Dalam usia Puro Mangkunegaran yang ke 250, seluruh trah, kerabat dan punggowo baku, bahwa persatuan dan ikatan yang erat bagaikan tebu sa'uyun merupakan satu-satunya jalan untuk menempuh masa depan yang lebih baik.
KGPAA.MANGKUNEGORO IV dalam SERAT PALIATMO memberi wanti-wanti agar semua trah dan kerabat selalu rukun, tanpa tidak membedakan laki-laki dan perempuan, tidak saling berbuat jahat, baik melalui lahir maupun batin. Mereka yang berani memulai tindakan jahat ini akan mendapat kutukan.
KRMH. DARADJADI GONDODIPROJO


Tuesday, March 20, 2007

PRAJURIT PENGAWAL TAHTA

Pemerintahan MN.V. tidak berlangsung lama. Pada suatu waktu di tahun 1896, beliau mengalami kecelakaan saat berburu di hutah Kethu, wilayah yang terletak didaerah Wonogiri. Akibatnya beliau menderita sakit dan akhirnya wafat pada tanggal 2 Oktober 1896 dalam usia 41 tahun. Waktu beliau wafat, para putranya masih kecil-kecil dan beliau tidak meninggalkan surat wasiat yang bersangkutan dengan suksesi, sebagaimana yang pernah di buat oleh MN.IV.

Pada saat wafatnya MN.V, penyandang pangkat dan jabatan tertinggi di dalam hirarki pemerintahan Mangkunegaran adalah Letnan Kolonel Wakil Komandan KPH. Gondosuputro. Dalam tradisi pemerintahan Mangkunegaran, pangkat Letnan Kolonel hanya diperuntukkan bagi pangeran Prangwedono, sebutan untuk putra Mahkota. Dalam waktu itu belum ada yang diangkat menjadi Let.Kol. Prangwedono.

Ucapan berduka cita atas wafatnya MN.V mengalir dari segala penjuru tanah Jawa. Seluruh ucapan ditujukan kepada KPH. Gondosuputro, karena beliaulah penanggung jawab Puro Mangkunegaran dalam masa kekosongan kekuasaan tersebut. Ucapan duka cita tersebut antara lain dari Pangeran Hangabehi, putera mahkota Kesultanan Yogyakarta.

Selesai pemakaman MN.V, KPH. Gondosuputro kembali memainkan perannya sebagai pengawal tahta Mangkunegaran. Prinsip bahwa pewaris tahta harus dari garis keturunan MN.IV dengan G.RAy. Dunuk, sebagaimana wasiat ayahandanya, beliau pegang erat-erat. Dengan prinsip itu, maka keputusan akhir tentang siapa yang naik tahta menjadi MN.VI terpulang pada G.RAy. Dunuk (Ibu Suri). Untuk keperluan tersebut, beliau menghadap pada G.RAy. Dunuk yang merupakan ibu tiri sekaligus kakak ipar beliau, untuk mohon petunjuk.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Ibu Suri G.RAy. Dunuk membuat keputusan yang bijaksana, yaitu memilih puteranya yang nomor dua, yaitu KPH. Dayaningrat untuk di angkat sebagai MN.VI, menggantikan kakaknya. Keputusan tersebut di sambut gembira dan rasa syukur oleh KPH. Gondosuputro. Sekali lagi beliau memainkan peran untuk menjaga kemulusan suatu suksesi. Pesan ayahandanya bahwa ia harus mengawal adiknya kejenjang tahta, terngiang kembali. Beliau mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Akhirnya pelantikan pemegang tahta Mangkunegaran yang baru dilakukan pada tanggal 21 November 1896. Beliau pada waktu di lantik sudah berusia 40 tahun, oleh karena itu langsung dilantik sebagai KGPAA. Mangkunegoro VI, Kolonel Komandan, tanpa mengalami sebutan Pangeran Prangwedono Letnan Kolonel.

Selama masa transisi, Praja Mangkunegaran dalam keadaan aman dan tenteram. Let.Kol. Wakil Komandan KPH. Gondosuputro berhasil menjaga kemulusan suksesi tahta Mangkunegaran. Beliau tetap menjabat sebagai Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran. Sementara itu, sejak tahun 1895, beliau menyusun re-organisasi dalam lingkungan Legiun Mangkunegaran, dengan bantuan perwira tentara Belanda. Perubahan-perubahan yang mendasar disesuaikan dengan keadaan anggaran negara dan kemajuan teknologi militer. Re-organisasi ini selesai pada tahun 1898, jabatan Wakil Komandan Legiun Mangkunegaran di hapus, sedangkan usia beliau sudah 63 tahun, suatu usia yang tergolong lanjut. MN.VI memberhentikan beliau dengan hormat sebagai pensiunan Letnan Kolonel Wakil Komandan. Suatu jabatan yang dalam sejarah Legiun Mangkunegaran tidak pernah dipegang oleh perwira lain selain beliau. Setelah menikmati masa pensiun yang tenang, beliau wafat pada Sabtu Wage, tanggal 12 Jumadilakir, tahun Wawu 1833 atau 1904 Masehi dan dimakamkan di Girilayu, Kabupaten Karang Anyar, Surakarta, di bawah makam ayahandanya. Beliau meninggalkan 8 putera-puteri dengan urutan sebagai berikut: RM. Sudika (Hatmosugondo), R.Ay. Poncosuyono, R.Ay. Surasmi Prawiraningrat, R.Ay. Suratmi Joyowiratmo, R.Ay. Semit (wafat pada usia muda), RM. Suyadi (RM. Ng. Wirosuputro), RM. Sapardi (wafat pada usia muda) dan R.Ay. Sukarti Padmoprodjo.

Di antara putra-putranya di atas, yang mengikuti karier sebagai perwira Legiun Mangkunegaran hanya RM. Ng. Wirosuputra, yang menurut catatan menyandang pangkat Kapten pada tahun 1904 di masa pemerintahan MN.VI.

KARIER KPH.GONDOSUPUTRA DALAM PEMERINTAHAN PRAJA MANGKUNEGARAN

KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu beliau masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, beliau mengikuti MN.IV ke Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh BAron VAn De Belle.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, MN.IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III) atau adik ipar beliau dan KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, MN.IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu MN.IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. MN.IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan MN.IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh MN.IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.

Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian beliau diangkat dalam jabatan "yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran". Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah MN.IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semasa beliau memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah MN.IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, beliau memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan. Akhirnya dengan dipimpin oleh Kapten KPH. Gondosisworo (Adik kandung Mayor KPH. Gondosuputro), pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura.

Sejak KPH. Gondosuputro mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, beliau melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas ARtileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.

Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, sehingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputro bukan merupakan daerah yang asing. Beliau sejak lama mendapat tugas dari ayahandanya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum beliau wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputro.

Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran. Tahun 1881 ayahanda beliau wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, adik kandung beliau KPH. Gondosubroto menyusul ayahandanya tercinta. Keduanya dimakamkan di Girilayu.

LEGIUN MANGKUNEGARAN

Cikal bakal dari Legiun Mangkunegaran ialah para anggota pasukan yang memberontak pada VOC, yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyowo. Ketangguhan tempur pasukan ini mulai terkenal sejak mereka dibawah Pangeran Suryokusumo (nama lain dari Pangeran Sambernyowo), melakukan penyerangan pos-pos militer Belanda di daerah Salatiga, waktu pemberontakan orang Cina pada tahun 1744. Setelah Pangeran Sambernyowo atau RM. Said menjadi kepala Praja Mangkunegaran pada tahun 1757, pasukan tersebut merupakan bagian resmi dari Praja Mangkunegaran.

Pasukan pemberontak yang tadinya belum mempunyai aturan-aturan militer yang baku, mulai dibenahi dengan cara penerapan tradisi dan hirarki kemiliteran yang profesional. Re-organisasi total Prajurit Mangkunegaran dilakukan pada tahun 1808 pada masa pemerintahan MN.II. Dalam re-organisasi tersebut, untuk pertama kali diangkat Komandan Legiun, yaitu MN.II dengan pangkat Kolonel. Tradisi ini berlanjut sampai dengan MN.VII, yang merupakan Kolonel Komandan terakhir dari Legiun Mangkunegaran.

Nama pasukan yang tadinya "Prajurit Mangkunegaran", diubah menjadi "Legiun Mangkunegaran". Hal ini mencerminkan sikap yang modern dari penguasa Praja Mangkunegaran waktu itu, yang ingin mempunyai tentara seperti yang dimiliki Perancis di jaman Napoleon.

Jumlah personil Mangkunegaran tergantung kebutuhan pada pemerintahan saat itu. Namun menurut catatan yang ada dalam sejarah Legiun, jumlah yang minimumnya sekitar 750 personil dan maksimum 1500 personil. Rekruitmen prajuritnya di ambil dari rakyat di wilayah Mangkunegaran, sedangkan para perwiranya diangkat dari para putera dan kerabat Mangkunegaran. Untuk menjadi kadet atau calon perwira dipersyaratkan umur 16 tahun dan menguasai bahasa Belanda dan Melayu. Agar mutu Legiun Mangkunegaran setara dengan tentara Belanda, maka beberapa tentara Belanda ditugasi untuk mendidik dan melatih para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran terkenal sebagai tentara yang bermutu tinggi, sehingga jenjang kepangkatannya oleh pemerintah Belanda diakui sama dengan kepangkatan dalam tentara Belanda. Apabila dalam keadaan perang, Legiun Mangkunegaran akan berfungsi sebagai tentara cadangan Belanda. Hal ini terjadi waktu Perang Dunia II, dimana tentara Belanda diserang tentara Jepang pada masa pemerintahan MN.VII dan Legiun Mangkunegaran ikut bertempur bersama tentara Belanda. Dalam perang tersebut, Belanda menyerah dan Legiun Mangkunegaran dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Dengan demikian MN.VII tercatat sebagai Kolonel Komandan yang terakhir.

Tugas pokok dari Legiun Mangkunegaran adalah menjaga keutuhan dan keamanan Praja Mangkunegaran. Karena tugas tersebut, maka kadang-kadang Legiun Mangkunegaran melakasanakan tugas-tugas polisionil diluar Praja Mangkunegaran. Sebagai contoh, pada setiap ada suksesi tahta di Keraton Surakarta, maka selama suksesi tersebut berlangsung, penjagaan keamanan kota Surakarta seluruhnya diserahkan kepada Legiun Mangkunegaran.

KEHIDUPAN RUMAH TANGGA KPH. GONDOSUPUTRA

RM. Sukardi pertama kali menempuh kehidupan berumah tangga dengan seorang ampil yang dikenal dengan nama Mas Aj. Silardiwati. Setelah beliau bergelar KPH.Gondosuputro, beliau melangsungkan pernikahan di Puro Mangkunegaran dengan putri nomor 12 dari Mangkunegoro III yang bernama RA. Suminah yang merupakan garwa padmi (permaisuri). Pernikahan ini menciptakan hubungan yang unik dengan ayahandanya. Seperti diketahui, KGPAA. Mangkunegoro IV, ayah kandung beliau telah memperistri puteri sulung dari almarhum MN.III. Dengan demikian istri atau garwa RM. Sukardi, kakak beradik dengan ibu tirinya. Sekitar berusia lima puluh tahun, beliau mengambil satu ampil lagi dengan nama Mas Aj. Citrowati.

Mangkunegoro IV berhasil membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Beliau banyak membangun sentra-sentra ekonomi, seperti pabrik gula, stasiun kereta api dan bangunan-bangunan lainnya. Beliau juga membangun kembali pesanggrahan di Karang Pandan, yang dinamakan Pesanggrahan Giripuro. Tempat ini oleh MN.IV selain dijadikan tempat peristirahatan, juga berfungsi sebagai tempat pendidikan bagi putra-putra beliau. MN. IV banyak melibatkan RM. Sukardi dalam kegiatan yang dilakukan di Karang Pandan ini. Kesejahteraan para puteranya juga diperhatikan, antara lain dengan membangun beberapa rumah yang diperuntukkan putra-putranya. KPH. Gondosuputro termasuk putranya yang diberi hak menempati sebuah rumah yang terletak di sebelah timur Puro Mangkunegaran.

MASA REMAJA KPH. GONDOSUPUTRA

Sepeninggal istrinya, KPH. Gondokusumo tidak langsung mengangkat seseorang sebagai garwa padmi, melainkan hanya mengangkat selir sebanyak 3 orang. Mereka inilah yang mengurus rumah tangga dan putra-putri beliau. Dalam hal ini RM. Sukardi bersaudara.

Sebagai putra seorang pangeran yang menjadi perwira pada Legiun Mangkunegaran, seudah sewajarnya kalau RM. Sukardi ingin mengikuti jejak sang ayah untuk mengabdi di bidang kemiliteran. Pada usia sekitar 16 tahun, ia diterima sebagai kadet calon perwira di Legiun Mangkunegaran. Tidak lama beliau berdinas, terjadi peristiwa yang membawa perubahan besar kehidupan keluarganya. Mangkunegoro III wafat pada tahun 1853 dan KPH. Gondokusumo diangkat sebagai Mangknegoro IV dan menikah lagi dengan puteri sulung dari MN.III yang bernama R.Ay. Dunuk. RM. Sukardi yang semula anak seorang Pangeran Gondokusumo, sekarang menjadi putra MN. IV. Hal tersebut membuat ia semakin menekuni kariernya demi menjaga dan membangun wilayah Mangkunegaran yang sekarang diperintah oleh ayahandanya.