Makam KGPAA. MANGKUNEGORO IV
di Girilayu, Kabupaten Karang Anyar, Surakarta,
Material besi tempa, marmer dan mahkota yang di impor dari Eropa oleh beliau pribadi.
Tidak ada yang salah apabila seseorang mempunyai kebanggaan terhadap leluhurnya. Hanya kebanggaan menjadi tidak berarti apabila seseorang tidak mengetahui apapun tentang mereka. Kehidupan leluhur merupakan bayang-bayang yang diproyeksikan oleh masa lampau, dalam wajah yang samar-samar, penuh misteri
Makam KGPAA. MANGKUNEGORO IV
di Girilayu, Kabupaten Karang Anyar, Surakarta,
Material besi tempa, marmer dan mahkota yang di impor dari Eropa oleh beliau pribadi.
Penuh khidmat KRMH. Daradjadi Gondodiprojo menerima ikatan tebu mewakili para kerabat Puro Mangkunegaran, dari Trah MN I sampai dengan Trah MN VIII dan Punggowo Baku.
PERJANJIAN SALATIGA
17 Maret 1745
Karena merasakan tindakan kompeni yang sewenang-wenang terhadap rakyat Kerajaan Mataram di Kartasura, maka pada tahun 1741 RM. Said meninggalkan Keraton Kartasura menuju Desa Nglaroh untuk menyusun pemberontakan melawan Belanda.
RM. Said yang berganti nama menjadi RM. Suryakusuma mulai membangun perlawanan di Desa Nglaroh dengan bermodalkan pasukan permulaan yang berjumlah 40.orang. Pada awal perjuangannya, RM. Suryakusuma bergabung dengan RM. Garendi atau yang terkenal dengan Sunan Kuning bersama Laskar Cina di bawah pimpinan Kapitan Sepanjang. Pada tahun 1743, RM. Garendi tertawan oleh Belanda di
Tahap berikutnya, RM. Said bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mangkubumi I. RM. Said yang juga terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyawa akhirnya memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memimpin pasukannya sendiri melanjutkan perjuangannya melawan Kompeni Belanda.
Pangeran Mangkubumi pada th 1755 melakukan perundingan dengan pihak Belanda di Giyanti. Perjanjian tersebut menghasilkan kesepakatan yang antara lain memberi hak pada sang Pangeran untuk memerintah sebagian dari wilayah Kartasura ,dan oleh beliau kerajaan yang baru ini di namakan Ngayogjakarta Hadiningrat yang populer di sebut sebagai Yogyakarta, sedang rajanya bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
Di saat RM. Said atau Pangeran Samber Nyawa mulai melakukan perlawanannya, Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura diperintah oleh Pakubuwono II. Namun, sejak Keraton Kartasura dapat di rebut oleh RM. Garendi beserta laskar Cina pada tahun 1742, ibukota kerajaan pindah ke
Sinuhun Pakubuwono III di paroh akhir tahun 1756 menulis surat kepada Pangeran Samber Nyawa agar kembali ke Surakarta untuk membantu beliau menjalankan pemerintahan, adapun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan wilayah pemerintahan dan kedudukan Pangeran Sambernyawa dapat dirundingkan kelak. Akhirnya pada hari Kamis Pahing tanggal 4 Jumadilakir, tahun 1682 (M.1756), Pakubuwono III menjemput Pangeran Sambernyawa di Desa Tunggon untuk di ajak kembali ke
Pada awal tahun 1757, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia menulis
Pada tanggal 17 Maret 1757 di dusun Kalicacing, Salatiga, perundingan tersebut dapat terlaksana. Menurut buku Babad KGPAA.Mangkunegara I,susunan formasi para peserta perundingan adalah sebagai berikut : Nicholas Harting sebagai wakil dari Gubernur Jenderal Belanda, yang dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator duduk di tengah, di apit oleh Pakubuwono III, disebelah kanan dan Hamengkubuwono I dikirinya. Di hadapan mereka duduk Pangeran Sambernyawa. Perundingan ini disaksikan oleh kepala perwakilan VOC dan kedua patih, baik dari
Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
Istana dan Praja Mangkunegaran selanjutnya di kenal dengan nama “Pura Mangkunegaran”. Kesepakatan tersebut di atas di kenal dengan nama “Perjanjian Salatiga” DENGAN DEMIKIAN PADA TG 17 MARET 2007, USIA PURA MANGKUNEGARAN MENCAPAI GENAP 250 TAHUN.
Pemerintah
tertuang dalam keputusan
Setelah Mangkunegara I wafat, beliau digantikan oleh Mangkunegara II dan seterusnya, hingga saat ini yang menjabat sebagai pimpinan Pura Mangkunegaran adalah Sri Paduka Mangkunegara IX.
Sejak pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IX, Pura Mangkunegaran telah memberikan sumbangan yang besar bagi bangsa dan kebesaran nama
Karya-karya tari dan sastra, serta berbagai ragam seni budaya bermutu tinggi banyak yang lahir dari lingkungan Mangkunegaran. Peranan Pura Mangkunegaran di bidang pendidikan menghasilkan tokoh-tokoh nasional, serta putera bangsa yang berbobot.
Dalam perjuangan kemerdekaan nasional, banyak kerabat Mangkunegaran yang langsung terlibat dalam perjuangan fisik maupun non fisik.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka semua, serta untuk memupuk rasa persatuan dan kebangsaan yang akhir-akhir ini dirasakan agak pudar, maka seluruh jajaran Pura Mangkunegaran mengajak masyarakat luas untuk bersama-sama berpartisipasi merayakan “250 tahun Pura Mangkunegaran”. Dalam rangka mereaktualisasi Budaya Mangkunegaran, maka panitya mempunyai rencana untuk mengadakan Pagelaran-pagelaran , seminar-seminar, pameran-pameran, dan kegiatan lainnya.
Dengan memohon Ridho Allah SWT., Tuhan Yang Maha Pengasih, Peringatan “250 tahun Pura Mangkunegaran”, akan dimulai dengan acara selamatan di Kalicacing, Salatiga pada tanggal 17 Maret 2007, dan disusul dengan kegiatan2 lainnya yg akan berlangsung sepanjang tahun 2007
"Pahlawan Nasional RM Said berjuang melawan penjajah bersama para Ulama, Pendekar, laskar Tionghoa dan prajurit wanita"
PANGERAN SAMBERNYAWA
Masalah tersebut, maka RM. Said atau Pangeran Sambernyawa, karena menyaksikan penderitaan rakyat Mataram akibat penindasan Kompeni, beliau memilih keluar dari Istana Kartasura dan membangun perlawanan terhadap VOC.
“Subhanullah Subhanullah Subhanullah Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”. Kalimat ini senantiasa dikumandangkankan oleh Pangeran Sambernyawa dimanapun beliau berada. RM.Said mengangkat senjata bukan karena ingin menjadi raja, tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan kebenaran. Bagi beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan beliau. Kyai Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka. Raden Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di saat bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.
“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe rantas malang malang putung,
ojo nganggu gawe, marang kamardikan”.
"Semua tujuan harus ditebus melalui pengorbanan
W A R O K
“Suro Diro Jayaningrat lebur dening pangastuti”.
Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.
· Rumongso Melu Handarbeni
· Wajib Melu Hanggrumengkepi
· Mulat Sariro
· Angrosowani
Peristiwa yang terjadi di Salatiga pada tahun tersebut sangat erat hubungannya dengan apa yang terjadi di Keraton Kartasura. Pada masa itu yang bertahta di Kartasura adalah Paku Buwono II. Beliau mempunyai beberapa saudara, antara lain bernama Pangeran Arya Mangkunegoro, yang kemudian di buang ke Afrika Selatan oleh Kompeni dan wafat disana. Sebelum di buang, beliau berputra seorang laki-laki yang di beri nama RM.Said (Pangeran Sambernyawa). Pada masa itu kekejaman Kompeni mencapai puncaknya. Para petani di peras dan di
Laskar Cina pelarian dari
Gabungan Laskar Cina ini bersatu dengan Laskar para bupati pemberontak di dalam melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Sunan Pakubuwono II pada mulanya mendukung perjuangan mereka. Benteng Salatiga diduduki oleh Pasukan Kartasura, dibawah pimpinan Patih Pringgalaya. Namun tidak beberapa lama pasukan dimaksud di tarik ke Kartasura untuk membendung bala tentara Kompeni yang mengancam Keraton Kartasura. Sebagai gantinya Salatiga di pertahankan oleh satu detasemen Laskar Cina yang didatangkan dari
Kompeni merasa tidak senang atas berpihaknya PB.II kepada pemberontak dan mengeluarkan berbagai ancaman. Disebabkan Pringgalaya takut atas ancaman Kompeni yang demikian itu dan untuk membuktikan bahwa dia tidak bersekongkol dengan Laskar Cina, maka pada tahun 1741 ia memenggal kepala seorang juru tulis Tionghoa, yang bernama Gow Ham Ko di Salatiga. Kepala Gow Ham Ko oleh Patih Pringgoloyo diserahkan kepada Kompeni. Hal ini membuat marah Patih Notokusumo, seseorang yang lebih senior dari Pringgalaya. Secara diam-diam dia memerintahkan semua pengikutnya untuk bergabung dengan pasukan Tionghoa dan pemberontak lainnya untuk menyerang kompeni di
terhadap kompeni yang di
Sebagian besar pasukan yang mundur bertahan didaerah Salatiga dengan pertahanan Kali Tuntang. Berbagai kekuatan pemberontak, seperti pasukan Pringgalaya berada di Kalicacing, Pasukan Kyai Mas Yudonegoro, seorang ulama dari
Kekalahan pasukan pemberontak di
Setelah Salatiga jahtuh ketangan RM.Garendi, dengan mudah mereka merebut benteng kompeni di Kartasura dibawah Van Hohendorf. RM.Garendi di Kartasura bertemu dengan RM.Said yang selanjutnya keduanya bergabung melawan kompeni pada pertengahan 1742. Sementara itu Salatiga telah dikuasai oleh pasukan pemberontak yang terdiri dari laskar Cina, pasukan dibawah Kyai Mas Yudonegoro dan pasukan para bupati yang setia pada Patih Notokusumo.
Belanda merencanakan mengirim pasukan gerak cepat yang terdiri dari 300 prajurit Eropa dan 500 prajurit pribumi ke Salatiga, tapi mengalami kegagalan karena pasukan yang akan menjemput mereka sebelum memasuki Salatiga telah dipukul mundur ke Ampel.
Pada tanggal 19 Juni 1742 serangan besar-besaran akan dilancarkan ke
Sunan Kuning atau RM.Garendi beserta Laskar Cina, Kyai Mas Yudonegoro, Bupati Mangunnoneng, serta Bupati Martapura, melakukan serangan ke Salatiga dan memaksa Patih Pringgalaya yang sudah berbalik membantu Kompeni, mundur ke Tengaran, kemudian Ampel.
Pasukan RM.Garendi terus mengejar pasukan Kartasura dibawah Pringgalaya dan akhirnya menyerbu benteng Kompeni di Kartasura. Di tempat ini, RM.Garendi beserta Laskar Cina bersatu dengan RM.Said melakukan perlawanan terhadap Kompeni.
Pertempuran yang terjadi di Salatiga, mulai sejak pasukan Pringgalaya menyerbu benteng Kompeni sampai dengan insiden pembunuhan juru tulis Tionghoa dan juga pertempuran antara RM.Garendi beserta Laskar Cina menyerang pasukan Pringgalaya yang telah berbalik sebagai sekutu Kompeni, diceriterakan secara detail dalam Buku Babad Keraton dalam bentuk tembang. Buku dengan huruf Jawa yang aslinya disimpan di British Library London, telah disalin dalam huruf Latin oleh Drs. I.W. Pantja Sunyata, Drs. Ignatius Supriyanto dan Prof. Dr. J.J. Ras.
Babad Keraton - I.W.Pantja Sunjata;Drs. Ignatius Supriyanto;Prof. Dr. J.J. Ras
Perang Cina – Remelink
Babad Panambangan
MOCOPAT
DURMA
Orang Jawa bercampur-aduk dan ketiga perwira tadi menarik keris, tetapi terdesak oleh para prajurit bawahan yang saling bertubrukan karena mengamuk lupa daratan.
Mereka ditembaki dari belakang dan dua orang prajurit tertangkap, sedang sisanya melarikan diri sampai di loji sebelah Utara, untuk berkumpul dengan sesama bangsanya.
PANGKUR
Sampun dènya undhang-undhang, wau sira sang adipati Pathi, myang radèn Martapurèku, miwah Singsèh Sepanjang, asandhiya tuwin ngabèhi Pibulung, pun Etik lawan pun Macan, wus samekta ingajurit.
Telah berkumpul sang Adipati Pati dan Raden Martapura serta Sinshe dan Sepanjang berjejer dengan Ngabehi Pibulung, Etik demikian pula Macan. Semuanya telah siap untuk bertempur.
Samya angelar jajahan, melukaken mring wong désa kanan kéring, kang bangga rinayah, sampun, gègèré apuyengan, Singajaya Singapatra samya gupuh, atur uninga naréndra, yèn musuh nèng Lèpèncacing.
Mereka melebarkan wilayahnya dengan cara menaklukkan desa di kiri-kanan. Mereka yang melawan akan dimusnahkan, sehingga mmbuat keributan. Mendengar hal tersebut Singajaya dan Singapatra dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada sang raja, bahwa musuh telah sampai di Kali Cacing.
Tumuta lampah kawula, sri naréndra ngandika iya becik, tinimbalan praptèng ngayun, sang nata angandika, Dipayuda milua amapag musuh, tur sembah matur sandika, ki Wirajaya nambungi.
Mengikuti saran, sang raja berkata,”Ya, kalau begitu panggillah Dipoyuda menghadap saya”. Kepada Dipayuda raja memerintahkan untuk mencegat musuh dan di jawab bahwa dia siap.
Saking wuri alon mojar, ing Tengaran jurang puniku adhi, mung puniku dika rebut, yya kongsi kasabrangan, pan puniku dadia bètènging batur, Rajaniti nulyèng wuntat, nanging datan anauri.
Wirajaya dari belakang berseru.”Di jurang Tengaran ini, tolong anda rebut, jangan sampai musuh dapat menyeberang, jadikanlah sebagai benteng yang kokoh”. Rajaniti lalu menoleh kebelakang, tetapi tidak berkata apa-apa.
Kèndel sadalu lampahnya, énjingipun majeng sawadya katri, amakuwon Kaligandhu, sampun ayun-ayunan, anèng Tingkir pan mengsah pacucukipun, wau ta sri naranata, yèn nglampahken ta duta glis.
Setelah beristirahat semalam, esoknya semua laskar melanjutkan perjalanannya dan berkemah di Kali Gandu. Di desa Tingkir berhadap-hadapan dengan barisan depan musuh. Sang rajapun segera mengirimkan utusannya.
- Babad Keraton Pupuh CLXVII -
DHANDANGGULA
Ingkang awasta radèn mas Said, lan Sambiya lan radèn mas Sabar, sampun ageng katiganè, pangandikaning prabu, samya kinèn basahan sami, nunggala pagandhèkan, tri anom ranipun, sarta kaparingan nama, kang atuwa rahadèn ingkang wawangi, radèn Suryakusuma.
Yang bernama Raden Mas Said dan Sambiya dan Raden Mas Sabar telah dewasa semuanya. Sang raja memerintahkan pada mereka untuk bertugas pada satu kesatuan yang bernama Trianom, serta yang tertua diberi nama Raden Suryakusuma.
Raden Sambiya ingkang wawangi, raden Martakusuma wastanya, raden Sabar wawangine, Wiryakusuma iku, sabin sami dipunparingi, nyalawé cacahira, sèket ingkang sepuh, gentya ingkang kawuwusa, pan kumendur Natanail ing Semawis, utusan tur uninga.
Raden Sambiya dinamakan Raden Martakusuma, Raden Sabar bernama Wiryakusuma dan dianugerahi sawah tiap orang 25, sedang yang sulung di beri 50. Sementara itu komandan Natanail di
Marang gurnandur jéndral Betawi, lamun sang nata tutulung Cina, kang duta lumaksana gé, datan kawarnèng laut, praptanira nagri Betawi, tumanduk punang duta, katur suratipun, sampuning amaos serat, samya ngungun ratpenidiya miyarsi, miwah gurnadur jéndral
Berita itu mengatakan, bahwa menurut pengamatan, Sang raja Kartasura membantu Cina. Utusan dari
Kapiten Singsèh dènira baris, wus angrupak anèng ing Trebaya, Martapura titindhihé, Sapanjang Sabukalu, Mangkuyuda ingkang nindhihi, banjeng pakuwomira, akapang akepung, wus maju saking Pragota, radèn arya Mlayakusuma lan malih, radèn Wiryadiningrat.
Kapitan Sinshe telah menyusun barisan menyerang Trebaya dibawah pimpinan Martapura, diikuti pasukan Sepanjang, Mangkuyuda yang telah melakukan pengepungan, sementara Mlayakusuma dan Wiryadiningrat maju melewati Pergota.
Acampuh ing prang bedhil-binedhil, Martapura anindhihi Cina, lan ngabèhi Trabayané, kumpeni para kaburu, kang kacandhak akèh ngemasi, praptèng jro loji samya, tinulungan sampun, ing mriyem lir gelap sasra, wadya Cina mundur amakuwon malih, lan radèn Martapura.
Terjadi baku tembak antara dua kekuatan, Martapura memimpin pasukan Cina dan Pasukan Ngabehi Terbaya. Kompeni di buru, sehingga banyak yang tewas. Pada waktu sampai loji, Kompeni menembakkan meriam hingga udara menjadi gelap gulita, pasukan Cina mundur sampai keperkemahan mereka, beserta Raden Martapura.
- Babad Keraton Pupuh CLVI -