KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu beliau masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, beliau mengikuti MN.IV ke Jakarta untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh BAron VAn De Belle.
Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, MN.IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III) atau adik ipar beliau dan KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, MN.IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu MN.IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. MN.IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan MN.IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh MN.IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.
Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian beliau diangkat dalam jabatan "yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran". Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah MN.IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semasa beliau memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah MN.IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, beliau memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan. Akhirnya dengan dipimpin oleh Kapten KPH. Gondosisworo (Adik kandung Mayor KPH. Gondosuputro), pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura.
Sejak KPH. Gondosuputro mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, beliau melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas ARtileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.
Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, sehingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputro bukan merupakan daerah yang asing. Beliau sejak lama mendapat tugas dari ayahandanya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum beliau wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputro.
Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran. Tahun 1881 ayahanda beliau wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, adik kandung beliau KPH. Gondosubroto menyusul ayahandanya tercinta. Keduanya dimakamkan di Girilayu.